ADA APA DENGAN SEKTOR KONSUMEN PRIMER: TOP LOSER INDUSTRY BY JULY 2021

Saturday, 28 August 2021

Berdasarkan laporan dari Bursa Efek Indonesia, Saham-saham pada Sektor Konsumen Primer merupakan satu-satunya sektor industri yang mengalami penurunan secara year-on- year per Juli tahun ini. Dalam periode 31 Juli 2020 – 31 Juli 2021, indeks saham saham sektor konsumen primer sebesar -17.88%. Sedangkan, secara year-to-date, indeks saham sektor konsumen primer mengalami penurunan paling tajam sebesar -16.56% dibandingkan sektor-sektor lainnya, bahkan dibandingkan dengan sektor properti dan real estate sebesar -15.88%. Sektor properti dan real estate merupakan sektor industri yang turun paling tajam sepanjang tahun 2020, dimana sektor ini merupakan industri yang paling sering kena pembatasan 100% ketika Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) diperketat.


Dari segi volume perdagangan, jumlah saham-saham sektor konsumen primer, menunjukkan tren penurunan sejak Juli 2020. Sepanjang 2020, jumlah saham-saham sektor konsumen primer yang diperdagangkan sekitar 2 milyar lembar dan sejak awal tahun 2021 mengalami penurunan hingga di akhir Juli 2021 tercatat di bawah 1,5 milyar lembar.


Sektor konsumen primer meliputi industri-industri sebagai berikut ritel dan distributor obat-obatan dan makanan, supermarket, aneka minuman, produk susu olahan, makanan olahan, ikan, daging dan produk unggas, perkebunan dan tanaman pangan, rokok, produk keperluan rumah tangga, dan produk perawatan tubuh. Salah satu emiten di sektor industri ini adalah Unilever Indonesia (UNVR). Dengan kata lain, produk-produk yang dihasilkan oleh industri konsumen primer merupakan produk-produk yang senantiasa dibutuhkan dalam segala kondisi. Bahkan, industri konsumen primer tetap dapat beroperasi di tengah PPKM. Namun demikian, saham-saham sektor ini turun paling tajam yang menjadikannya sebagai Top Loser sektor industri. Mengapa demikian?


Padahal, secara year-on-year pertumbuhan ekonomi RI per Juni 2021 (Triwulan II tahun 2021) telah mencapai 7.07%, yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi RI telah keluar dari pertumbuhan negatif sejak triwulan II tahun 2020. Pertumbuhan tersebut didorong oleh Konsumsi Rumah Tangga yang kali pertama sejak Triwulan II 2020 kembali tumbuh positif, yakni sebesar 5.93%. 


Pertama, para investor mengantisipasi kembali penurunan pertumbuhan ekonomi, yang didorong juga oleh penurunan konsumsi Rumah Tangga, di Triwulan III tahun ini akibat PPKM Darurat yang saat ini telah diturunkan ke level 3. Berbeda dengan Pemberlakuan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada tahun 2020 lalu, PPKM Darurat menimbulkan ketidakpastian yang lebih tinggi dibandingkan PSBB. Meskipun vaksin sudah ada, namun pandemi tidak kunjung berakhir, bahkan pembatasan dengan level yang lebih ketat daripada PSBB Transisi diberlakukan.  Pemberlakuan PPKM Darurat memberikan gambaran yang tidak jelas mengenai keadaan akan transisi menuju kemana. Bahkan, sepertinya PPKM akan menjadi bagian dari normal baru. Ekonomi buka-tutup tidak ideal untuk bisnis yang pada hakekatnya harus bertumbuh.


Kedua, likuiditas beralih ke sektor-sektor industri yang lebih beresiko. Para investor makin agresif dalam arti mereka mengejar pertumbuhan. Mereka berani mengambil resiko dengan berinvestasi di sektor-sektor yang lebih terdampak oleh PPKM dengan harapan ketika PPKM dilonggarkan dan kembali normal, maka sektor-sektor tersebut menunjukkan perbaikan kinerja keuangan yang paling mencolok. Para investor memang menghargai lebih saham-saham yang mengalami perbaikan kinerja keuangan yang mencolok. Dengan demikian, sektor-sektor yang paling terdampak PPKM tampaknya lebih menjanjikan.


Selain itu, likuiditas juga beralih ke sektor teknologi yang menjadi primadona saat ini. Dimeriahkan dengan hadirnya saham ritel berplatform digital pertama, yakni Bukalapak, dalam daftar perusahaan tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). Berdasarkan laporan BEI, indeks saham sektor teknologi telah mencatat kenaikan year-on-year tertinggi dibandingkan sektor-sektor lain, lebih dari 1000% per juli 2021. Kenaikan yang fantastis. Jumlah-jumlah saham yang diperdagangkan juga melonjak berkali-kali lipat dibandingkan tahun lalu.


Ketiga, prospek pertumbuhan sektor Konsumen Primer tergantung kepada pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga yang rentan terhadap PPKM. Jika PPKM terus-menerus menjadi bagian dari normal baru, maka sangat sulit bagi Konsumsi Rumah Tangga untuk kembali ke level sebelum pandemi. Jika demikian, maka produksi sektor Konsumen Primer tidak bertumbuh, melainkan naik-turun, sehingga membuat sektor ini menjadi kurang menarik bagi para investor yang mengejar pertumbuhan.


Sektor Konsumen Primer memang masih tetap diandalkan sebagai sektor defensif. Namun, jika kondisi tak menentu seperti saat ini tetap berlarut-larut, maka dikhawatirkan sektor ini akan ditinggalkan oleh investor.

More Articles

Apakah Harga Saham yang Meroket Merupakan Saham Bubble? Profil
 Ardo R. Dwitanto 
SE, MSM, CFP® Belajar Investasi Saham untuk Pemula