Dalam satu bulan terakhir, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak di rentang harga 6168-6394. Setahun yang lalu, kasus pertama Covid-19 diumumkan di Indonesia. Sontak itu memicu kepanikan. Banyak pihak menyerukan supaya pemerintah Indonesia segera memberlakukan karantina wilayah atau lockdown. Ketidakjelasan akan pemberlakuan karantina wilayah membuat para investor dihadapkan kepada situasi yang penuh ketidakpastian, sehingga banyak investor yang melakukan penjualan saham besar-besaran. Alhasil IHSG terjun bebas dari level sekitar 6300 ke 3911 atau jatuh sebesar 37,9%.
Di bulan April 2020, pemerintah Indonesia akhirnya memilih untuk memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau disingkat PSBB (saat ini disebut sebagai Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau disingkat PPKM) daripada karantina wilayah, dimana ada sektor-sektor usaha esensial yang tetap diijinkan berjalan, IHSG berbalik arah naik kembali. Tren kenaikan IHSG berlanjut setelah PSBB dilonggarkan di pertengahan Juni 2020. Di bulan Agustus 2020, IHSG telah menembus level 5200-an.
Di bulan November 2020, vaksin covid-19 pertama kali diumumkan di Amerika Serikat. Tren kenaikan IHSG tidak terbendung lagi. IHSG bahkan sempat menembus 6400 di bulan Januari 2021.
Di samping kenaikan IHSG yang kembali pada level sebelum pandemi, ada saham-saham yang meroket jauh melebihi harganya sebelum pandemic. Misalnya saham Aneka Tambang (ANTAM), saham Itanama Ranoraya (IRRA), dan saham Bank KB Bukopin (BBKP).
Sampai dengan waktu artikel ini ditulis, secara year on year (YoY), saham ANTAM telah meningkat lebih dari 200%. Saham IRRA telah meningkat lebih dari 170%. Sedangkan, saham BBKP telah meningkat lebih dari 130%.
Apakah kenaikan harga saham-saham ini merupakan bubble? Bubble adalah istilah di pasar saham, dimana harga saham meningkat tajam karena didorong oleh ledakan permintaan akan saham tersebut. Dinamakan bubble, karena seperti bubble, ketika semakin besar, akan pecah. Dalam konteks harga saham, pecah merujuk kepada harga saham jatuh. Harga saham yang mengalami bubble biasanya tidak ditopang oleh fundamental perusahaan.
Perlu diketahui bahwa harga saham digerakkan oleh ekspektasi investor, sehingga harga saham merupakan harga saham merupakan leading indicator dari perekonomian. Ketika harga meningkat tajam, investor mengantsipasi adanya pertumbuhan supernormal pada pendapatan perusahaan.
Kenaikan IHSG ke level sebelum pandemi dikonfirmasi oleh perbaikan pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi minus secara year on year (YoY) berkurang dari kuartal ke kuartal. Menurut Biro Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II 2020 sebesar -5,32%. Di kuartal III 2020, meskipun terhitung Indonesia masuk resesi ekonomi, namun pertumbuhan ekonomi minusnya berkurang menjadi -3,49%. Di kuartal IV 2020, pertumbuhan minusnya kembali berkurang menjadi -2,19%.
Ditambah lagi, terdapat komitmen pemerintah untuk penanggulangan covid-19 dan pemulihan ekonomi yang ditandai dengan anggaran penanggulangan covid-19 dan pemulihan ekonomi di tahun 2021 sebesar Rp. 627,9 Triliun, yang meliputi kesehatan, perlindungan sosial, dukungan UMKM dan Koperasi, insentif usaha dan pajak, dan program prioritas.
Belanja pemerintah yang jor-joran ini selaras dengan kebijakan moneter Bank Indonesia yang tetap mempertahankan suku bunga BI 7-Day Reverse Repo Rate di 3,5%. Dengan suku bunga rendah dipertahankan, maka harga dana menjadi murah. Insentif untuk menaruh uang di deposito bank turun, sehingga diharapkan uang atau likuiditas dialokasikan untuk konsumsi atau bisnis, sehingga roda perekonomian berputar lagi dan berputar cepat.
Selain itu, ada fundamental lain yang menjadi dasar dari pertumbuhan supernormal nasional. Undang-Undang Cipta Kerja yang diharapkan mendorong investasi riil baik oleh investor dalam negeri maupun investor luar negeri. Dengan semangat UU Cipta Kerja ini, pemerintah berhasil menarik investasi luar negeri dengan nilai investasi yang sangat besar. Misalnya, LG Chem, melalui anak usahanya LG Energy Solution, perusahaan asal Korea Selatan berinvestasi untuk pabrik baterai di Batang, Jawa Tengah, sebesar $9,8 Milyar atau setara dengan kira-kira Rp. 140 Triliun. Penanaman modal asing untuk pabrik baterai ini yang memberikan rejeki nomplok atau durian runtuh bagi emiten ANTAM yang akan menjadi pemasok nikel sebagai bahan baku baterai. Tidak hanya itu, Tesla juga sedang dalam negosiasi dengan pemerintah Indonesia untuk berinvestasi di Indonesia yang nilainya juga diperkirakan fantastis.
Anggaran kesehatan sejumlah kisaran Rp 169 Triliun- Rp. 254 Triliun rupiah memberikan rejeki nomplok buat emiten IRRA, distributor alat-alat kesehatan seperti jarum suntik. Program vaksinasi nasional yang wajib untuk seluruh rakyat Indonesia membuat IRRA akan mengalami ledakan order jarum suntik. Per Desember 2020, penjualan IRRA tercatat sebesar Rp. 563,89 Miliar, dimana telah meningkat secara YoY sebesar sekitar 100% dibandingkan dengan penjualan di tahun sebelumnya. Peningkatan ini belum termasuk dengan pendapatan dari pemasokan jarum suntik untuk program vaksinasi nasional di tahun ini.
Bank Bukopin telah diakuisisi sebagian besar kepemilikannya oleh KB Kookmin. Kookmin merupakan bank besar asal Korea Selatan yang mempunyai komitmen besar untuk ekspansi ke Indonesia. Salah satu target market dari Bank Bukopin adalah pengusaha Korea Selatan yang ada di Indonesia. Korea Selatan merupakan salah satu investor riil terbesar di Indonesia. Per November 2020, penanaman modal oleh Korea Selatan telah mencapai $1.3 Milyar atau setara kira-kira Rp. 18,6 Triliun. Ini akan bertambah seiring dengan penanaman modal oleh LG Energy Solution di tahun ini yakni sebesar $9.8 Milyar atau setara kira-kira Rp. 140 Triliun, yang dimana mencetak rekor investasi terbesar Korea Selatan di Indonesia.
Besarnya KB Kookmin, jika dinilai dari kapitalisasi nilai sahamnya di Bursa Saham New York saat ini mencapai $18.47 Milyar atau setara kira-kira Rp. 258 Triliun. Dengan demikian, KB mempunyai kapasitas untuk menyuntik dana ke BBKP untuk menjadi bank Buku IV dengan modal minimum Rp 30 Triliun. Saat ini total ekuitas BBKP sebesar Rp. 10 Triliun.
Jadi, melihat hal-hal di atas, maka kenaikan IHSG bukan bubble. Begitupula dengan saham-saham ANTM, IRRA, dan BBKP. Saham-saham tersebut layak meroket karena memang emiten-emiten tersebut sedang ketiban durian runtuh alias rejeki nomplok. Kalau saham-saham yang meroket tetapi tidak ada fundamental yang menopang, maka kenaikannya merupakan sesuatu yang halu.