Stress dan Kasih

Tuesday, 9 September 2014

“Life is never flat” adalah suatu ungkapan yang sering kita dengar. Ya, benar, hidup itu tidak selalu lancar, kadang,bahkan, sering penuh tantangan. Banyak keluhan yang muncul bahwa jaman sekarang lebih susah; susah dapat kerja; susah dapat rejeki; kejahatan makin marak; orang-orang makin “edan”. Dengan kata lain, jaman ini, hidup semakin penuh dengan stres.


Memang stres adalah bagian dari kehidupan. Setiap orang pasti akan mengalami stres dan banyak yang gagal untuk mengatasinya sehingga menjalani hidup yang penuh dengan kekecewaan, kecemasan, dan kekacauan.


Apa reaksi natural seseorang ketika stres? Biasanya ketika stres, seseorang akan menjadi mudah marah, mudah tersinggung (sensitif), tidak peduli terhadap orang lain, cenderung menyalahkan orang lain, tidak berpikir jernih, suka menggerutu, menyalahkan diri sendiri, bertindak gegabah, dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Kebanyakan orang cenderung mengarah kepada frustasi ketika stres.


Apa itu Stres?
Stres adalah suatu kondisi dimana seseorang tertekan (underpressured). Yang dimaksud dengan kondisi tertekan adalah suatu kondisi di mana seseorang harus keluar zona kenyamanannya (comfort zone) karena ingin menangkap suatu kesempatan untuk berkembang, mengalami perubahan-perubahan yang tidak diinginkan (di luar perencanaan), melawan tekanan-tekanan dari orang lain, dan melakukan yang benar.


Ketika seseorang keluar zona kenyamanannya, dia menghadapi suatu ketidakpastian. Nah, keadaan yang tidak pasti ini yang dapat menimbulkan keresahan, kekhawatiran dan bahkan frustasi.


Bagaimana kebanyakan orang mengatasi stres?
Kebanyakan cara yang dikembangkan untuk mengatasi stres fokus kepada bagaimana seharusnya kita berpikir positif ketika stres. Beberapa ungkapan dibuat untuk membangkitkan kepercayaan diri dan semangat juang di dalam kondisi stres, seperti di bawah ini:


1) Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.
2) Keberhasilan membutuhkan pengorbanan
3) Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda
4) “everything is going to be okay.”
5) “No pain, no gain”
6) Badai pasti akan berlalu


Namun, apakah dasar dari ungkapan-ungkapan tersebut? Apakah dasarnya kuat dan kokoh? Ungkapan-ungkapan tersebut baik adanya, tetapi jika tidak didasari oleh suatu fondasi keyakinan yang kuat dan kokoh, maka ungkapan-ungkapan tersebut hanyalah sekedar slogan.
Apa yang saya maksud dengan fondasi keyakinan yang kuat dan kokoh? Pada dasarnya, manusia tidak mempunyai “modal dasar” di dalam dirinya untuk berpikir positif. Dengan demikian, pikiran positif tidak akan dapat diproduksi oleh diri sendiri. Pikiran positif lahir dalam diri kita ketika Tuhan menaruh suatu“benih” ke dalam hati kita. Apa benih itu? Kasih.


Apa itu kasih?
Sebenarnya tidak ada satu hikmatpun di dunia ini dapat memberikan gambaran yang benar tentang kasih. Kenapa? Karena di dalam diri manusia sendiri, tidak ada ide sama sekali tentang kasih. Kebanyakan hikmat di dunia ini berpandangan bahwa manusia dapat memproduksi kasih dari hatinya sendiri tanpa Tuhan. Atau kalaupun Tuhan dilibatkan, peran-Nya hanya sebagai mentor. Kasih itu hanya berasal dari Tuhan dan melalui rahmat-Nya kasih itu ditaruh di dalam hati kita.


Kasih adalah sebuah karakter yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1) sukacita
2) damai sejahtera
3) kesabaran
4) kemurahan
5) kebaikan
6) kesetiaan
7) kelemahlembutan
8) penguasaan diri.


Bukankah kedelapan hal di atas yang dicari-dicari oleh setiap orang di muka bumi ini. Sumbernya hanya satu yaitu kasih dan kasih itu berasal dari Tuhan. Selama kasih ada di dalam hati, maka meski stres, kedelapan ciri tersebut akan memenuhi hidup kita.
Selanjutnya, saya akan memberikan beberapa penerapan dari kasih dalam membebaskan seseorang dari berbagai tekanan hidup.


Kasih versus Kepahitan Hidup
Seorang remaja tanggung mempunyai luka bakar yang parah di sekujur tubuhnya akibat kecelakaan yang dia alami ketika dia masih kanak-kanak. Seorang pengemudi truk yang mabuk menabrak truknya ke mobil yang dia tumpangi bersama kedua orang tuanya. Tabrakan tersebut menimbulkan kebakaran pada mobil tersebut. Karena anak tersebut terlambat diselamatkan, maka dia harus menderita luka bakar yang parah di sekujur tubuhnya.


Saat itu pengemudi truk melarikan diri. Belasan tahun kemudian, si pengemudi truk tertangkap polisi karena melanggar rambu lalu lintas dan setelah diselidiki polisi mengenali bahwa pengemudi ini yang melarikan diri dari kecelakaan truk tersebut. Akhirnya, si pengemudi ini dibawa ke pengadilan.


Anak korban kecelakaan tersebut beranjak remaja dan harus menjalani hidup dengan bekas luka bakar yang merusak penampilannya. Dia tidak dapat bergaul sebagaimana anak remaja pada umumnya. Dia kehilangan masa kanak-kanak dan remajanya akibat luka bakar tersebut.


Si anak diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya di dalam pengadilan. Para hadirin saat itu memperkirakan bahwa remaja ini akan mengumpat pengemudi ini dan meminta pengadilan untuk menghukumnya seberat-beratnya.


Namun, si anak berkata, “ Bapak telah mengakibatkan hal buruk dalam hidup saya sehingga saya tidak dapat menikmati masa kanak-kanak saya dan masa remaja saya. Namun, saya orang Kristen, yang telah mengalami kasih Tuhan, dan saya mengampuni Bapak!”
Seluruh hadirin pengadilan terkejut dan terdiam mendengar ucapan si remaja ini seakan tak menyangka bahwa perkataan semulia itu dapan diucapkan oleh seorang remaja yang terluka batinnya.


Kasih telah membebaskan remaja tersebut dari dendam dan kepahitan hidup.


Kasih versus Rasa Bersalah
Seorang wanita muda diliputi rasa bersalah yang tidak kunjung hilang. Dia merasa bertanggungjawab atas kematian kekasihnya dalam kecelakaan mobil. Ia sendiri yang mengemudikan mobil tersebut waktu itu. Sebuah mobil yang datang dari arah yang berlawanan melintasi garis tengah dan mendesak dia membelok ke pinggir jalan sehingga menabrak tiang telepon.


Selama berbulan-bulan sejak kecelakaan tersebut, wanita ini berusaha untuk mengobati rasa bersalahnya dengan berobat ke ahli-ahli ilmu jiwa, pendeta-pendeta, dan konselor-konselor. Namun semuanya tidak ada yang berhasil dan dia beranjak menjadi gila.
Akhirnya dia menemui seorang penginjil dan menuntun dia untuk percaya bahwa Tuhan bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi orang-orang yang mengasihi Tuhan dan terpanggil sesuai rencana-Nya. Selanjutnya, penginjil tersebut memintanya untuk mengucap syukur sebagai wujud iman terhadap Tuhan.


Awalnya, wanita ini terheran-heran bahwa dia harus mengucap syukur untuk kejadian tersebut. Namun akhirnya dia mengucap syukur sebagai wujud iman kepada Tuhan. Sejak itu, hidupnya berubah. Dia lepas dari rasa bersalah tersebut dan menjalani hidupnya dengan damai sejahtera.


Kisah wanita ini menunjukkan kepada kita bahwa kasih membuat wanita ini menerima tragedi tersebut sebagai bagian rencana Tuhan yang berujung kepada kebaikan, sehingga dia dapat mengucap syukur dan berpengharapan.


Kedua kisah di atas merupakan sedikit dari sekian banyak bukti bahwa kasih melepaskan banyak orang dari keadaan-keadaan yang sulit menuju hidup yang berarti dan penuh kebahagiaan. Kiranya kasih memenuhi hati kita sekalian.

 

Kasih dan Menerima Kelemahan
Di jaman yang penuh persaingan ini, setiap orang dituntut untuk memberikan kinerja yang sebaik-baiknya, bahkan tanpa cela. Jika berbuat kesalahan, maka siap-siap akan digantikan dengan oleh orang lain. Seakan-akan tidak ada ruangan untuk kesalahan.


Keadaan ini akan membentuk sikap menutup-nutupi kesalahan dan akhirnya sikap menghukum diri sendiri atas kesalahan yang dibuat. Beberapa kali saya mengamati bagaimana orang-orang bersikap terhadap kesalahan-kesalahan yang dibuatnya. Banyak di antara mereka mengumpat diri mereka sendiri dan bahkan membenci diri mereka sendiri.


Padahal, setiap manusia lahir dengan kelemahan-kelemahan di samping kebaikan-kebaikan yang dimiliki. Bahkan, kelemahan-kelemahannya lebih mendominasi. Pandangan-pandangan humanis yang menitikberatkan pada kekuatan manusia untuk hidup telah menyesatkan manusia dalam pengenalan akan dirinya sendiri, yang sebenarnya penuh dengan kelemahan. Ya, penuh dengan kelemahan. Suatu pandangan yang saya rasa tidak terlalu nyaman di kuping banyak orang. Namun, itu realita.


Dunia ini memberikan makanan yang berlimpah untuk harga diri (self-pride) atau istilah bekennya “nama baik”. Mulai dari iklan-iklan komersial bahkan sampai dunia pendidikan, mengiming-imingi calon pelanggan/calon mahasiswa dengan identitas eksklusif yang meningkatkan harga dirinya.


Self-pride menjadi halangan bagi seseorang untuk menerima kelemahan-kelemahan dirinya sendiri. Sikap yang bertolak belakang dengan self-pride adalah humble. Orang yang humble tidak berorientasi pada self-pride. Dia menyadari bahwa dirinya penuh dengan kelemahan dan hanya dengan rahmat Tuhan, dirinya dapat hidup dengan baik. Hati orang yang humble dipenuhi dengan kasih. Kasih itu menerima segala sesuatu, termasuk menerima kelemahan-kelemahan diri. Dia menyadari bahwa Tuhan dapat memakai segala sesuatu, termasuk kelemahan-kelemahannya, untuk mendatangkan kebaikan.


Apakah diri kita frustasi dengan kelemahan-kelemahan kita? Sudah pasti itu dikarenakan sikap kita yang tidak mau menerimanya. Terimalah kelemahan tersebut dengan hati yang humble. Dan, hati yang humble hanya dihasilkan oleh hati yang dipenuhi dengan kasih.

More Articles

ADA APA DENGAN SEKTOR KONSUMEN PRIMER: TOP LOSER INDUSTRY BY JULY 2021 Apakah Harga Saham yang Meroket Merupakan Saham Bubble? Profil
 Ardo R. Dwitanto 
SE, MSM, CFP®